Selasa, 04 Januari 2011

Beberapa kasus tumpahan minyak di Indonesia


Pencemaran lingkungan oleh tumpahan minyak kapal bukan hal baru di Indonesia. Sebelum MT Kharisma Selatan beberapa kasus tumpahan minyak juga telah terjadi. Setidaknya telah terjadi sembilan kali kasus tumpahan minyak di Indonesia sejak 1975. Tanker Showa Maru, karam di Selat Malaka tahun 1975, menumpahkan 1 juta ton minyak mentah; Choya Maru, karam di Bulebag, Bali (1975), menumpahkan 300 ton bensin; Golden Win, bocor di Lhokseumawe, NAD (1979), menumpahkan 1.500 kiloliter minyak tanah. Kemudian, Nagasaki Spirit, karam di Selat Malaka (1992), menumpahkan minyak mentah; Maersk Navigator, karam di Selat Malaka (1993), menumpahkan minyak mentah; Bandar Ayu, karam di Pelabuhan Cilacap (1994), menumpahkan minyak mentah; Mission Viking, karam di Selat Makassar (1997), menumpahkan minyak mentah; dan MT Natuna Sea, karam di Pulau Sambu (2000), menumpahkan 4.000 ton minyak mentah. (Kamaluddin, 2002).
Menurut Ingmanson dan Wallace (1985), sekitar 6 juta metrik ton minyak setiap tahun mencemari lautan. Penyebabnya secara umum adalah transportasi minyak, pengeboran minyak lepas pantai, pengilangan minyak dan pemakaian bahan bakar produk minyak bumi. Laut yang tercemar oleh tumpahan minyak akan membawa pengaruh megatif bagi berbagai organisme laut. Pencemaran air laut oleh minyak juga berdampak terhadap beberapa jenis burung. Air yang bercampur minyak itu juga akan mengganggu organisme aquatik pantai, seperti berbagai jenis ikan, terumbu karang, hutan mangrove dan rusaknya wisata pantai. Karamnya tanker Showa Maru telah menurunkan produksi tangkapan ikan di sekitar Selat Malaka dari 27,6 ton pada tahun 1974 menjadi 6,1 ton pada tahun 1975 (Bilal, 1990). Tumpahan minyak juga akan menghambat/mengurangi transmisi cahaya matahari ke dalam air laut karena diserap oleh minyak dan dipantulkan kembali ke udara.
Penanggulangan pencemaran laut di Indonesia
Dari segi prosedur baku yang berlaku, penanggulan tumpahan minyak dari bangkai MT Kharisma Selatan memang sudah cukup. Para petugas telah menggunakan pelampung untuk mencegah minyak tidak meluas yang dikombinasikan dengan penggunaan skimmer (pompa) untuk mengambil kembali minyak yang mengapung. Ini adalah prosedur standar dalam penanggulangan tumpahan minyak. Tapi, yang terlihat sibuk hanya segelintir pihak/instansi dan itupun terkesan sangat sektoral. Inilah potret penanggulangan pencemaran laut di Tanah Air. Padahal, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut keterlibatan antardepartemen terkait sangat diperlukan sehingga penanganan tumpahan minyak dapat berjalan integratif. Keterlibatan berbagai instansi pemerintah sangat diperlukan karena dampak tumpahan minyak sangatlah luas. Penanggulangan tumpahan minyak dapat dilakukan dengan membentuk semacam badan penyelenggara (executing agency) dari apa yang diistilahkan Badan Usaha Mandiri Penanggulan Tumpahan Minyak atau National Contency plan (NCP). Kita pernah mewacanakan ini tapi tidak ada kabar berita sampai sekarang apakah para pihak yang perhatian dengan masalah pencemaran laut oleh tumpahan minyak sudah membentuk wadah ini atau belum.
Kabar yang agak baik berasal dari Pertamina. BUMN ini telah memiliki 54 sistem Tanggap Darurat Penanggulangan Tumpahan Minyak Tier. Tapi pengelolaannya masih bersifat lokal dan pembentukannya baru berdasarkan kebutuhan teknis, belum melalui penilaian (assessment) yang medalam. Dampak dari kondisi yang ada itu tentulah akan terasa bilamana memasuki tahapan pasca lokalisasi tumpahan. Dalam tahap ini mulai dihitung kerugian yang diderita oleh semua pihak akibat pencemaran yang terjadi. Juga, akan dihitung berapa besar kerugian yang harus dibayar oleh pemilik kapal sesuai aturan internasional yang berlaku. Dari penanganan kasus tumpahan minyak MT Kharisma Selatan belum terlihat langkah-langkah yang telah dipersiapkan oleh para pihak untuk tahapan pasca lokalisasi tumpahan. Terutama, memperkirakan dampak kerusakan terhadap lingkungan dan kehidupan ekonomi masyarakat yang tergantung pada lautan di sekitar Pelabuhan Tanjung Emas. Padahal, semestinya semua langkah harus berjalan simultan.

FIELD MEASUREMENTS AND TECHNIQUES

One object of geological mapping1) is to elucidate the structure2) and structural history3) of the region studied. This can only be one if measurements4) are made of: the attitude of planar structures5) such as the bedding6) and foliation7) linear features8) including the intersection of bedding6) and cleavage9); the trends of minor folds10); and the directions11) of overturning12). It is assumed that the reader already knows what these structures2) are, although many budding geologists13) do not always know the best way of measuring them. Measurements4) once made must be plotted and recorded, and there are several ways of doing this too, some easier than others. Structures5) must also be investigated, specimens14) collected, photographs taken, and possibly even soils15) panned to determine heavy mineral16) suits where no rocks17) are exposed (see Section 4.5.3). These are all part of the technique of mapping1).

5.1 Measuring Strike18) and Dip19)
Measurements4) of strike18) and dip19) of bedding6), cleavage9), foliation7) and jointing20) are fundamental. Without them, a geological map21) means little. A useful rule of thumb is to take readings to give an average density22) of about one for every 5 cm2 or 1 inch2 of map surface23) regardless of the scale of mapping24). Naturally there will be greater concentrations of measurements4) where strikes18) vary and fewer where structure is more consistent or exposures25) poor. If there is a greater concentration, perhaps you need to map those areas at a larger scale. Strikes18) and dips19) can be measured in a number of different ways. Suit your method to the type of exposure. Limestones26), for instance, often have uneven27) bedding6) surfaces and a method which allows you to measure strike18) and dip19) over a wide area of surface will give more representative values than one where only a point on the surface is measured. Metamorphic rocks28) offer additional problems. Measurements4) of cleavage9) often have to be made on very small parts of a surface, sometimes even overhanging29) ones. There may even be more than one cleavage9) or foliation7) and at least one of them may be obscure and difficult to measure. You must use your ingenuity. Many granite gneisses29) crop out30) as pavements or turtle-backs where the trace of foliation is clear enough but the dip is difficult to see. Like limestone31) bedding planes32), joints20) tend to have uneven27) surfaces; take this into consideration when

69
measuring them. One point must be emphasised: you must plot measurements on to your map immediately after you have taken them, so that any mistakes made in reading your compass31), and they do happen, are obvious. Only in very bad weather is it permissible to log readings in your notebook and plot them back in camp32). Joints20) are an exception. They tend to clutter a map without adding to a direct understanding of the structure. Record joint directions in your notebook and plot them onto map overlays later, or treat them statistically. Another exception to the rule of the immediate plotting of structural measurements is where structures are locally complex: then you may have to draw an enlarged sketch in your notebook and plot the measurements4) on it. Several different methods of measuring strike18) and dip19) are described below; modify them as occasion demands.
5.1.1 Method 1
This, the contact method33), is commonest of all. Use it where the surface is smooth and even. If there are small irregularities, lay your map case34) on the rock surface35) and make your measurements4) on that, but sometimes such a small area of bedding6) or cleavage9) is exposed that direct contact is the only method that can be used. Place the edge of your compass31) on the surface, hold it horizontally, align it parallel to strike18) and read the bearing (Figure 5.1). Some compasses31) are provided with a level bubble36) so that there is no difficulty in establishing strike18). With others, you may first have to determine strike18) with your clinometer37), as follows: rotate the clinometer37) on the rock until it reads zero dip19) and, if necessary, scratch a line parallel to it with your hammer39) or lay your scale down beside it. With practice you can usually estimate strike19) with sufficient accuracy, but where surfaces are close to horizontal, strike may be more difficult to estimate. Then it may be easier to determine the direction of maximum dip19), or if you have water to spare, let a little run over the surface to determine the dip19) direction. Measure dip19) with your clinometers37) at right angles to the strike18) (Figure 5.2).
5.1.2 Method 2
On large uneven planes40) of relatively low dip19), estimate a strike18) line of a metre or more long (if necessary, mark it with a couple of pebbles), then stand over it with your compass31) opened out and held parallel with it at waist height (Figure 5.3). In a stream41) or on a lake shore42) nature may help, for the water line makes an excellent strike18) line to measure. The same method can be used to measure the strike18) of foliation7) on turtlebacks, or of veinlets on flat surfaces. Because you measure a greater strike length with this method, it gives more accurate readings than the contact method, and it is particularly useful where foliation7) is indistinct and seen better in the rock17) as a whole. Dip19) is often difficult to measure in some pavement exposures, because there (to be continued)

70

Glossary:
1) mapping                   : proses pembuatan peta sebuah daerah
2)structure                    : adanya dislokasi pada batuan yang umumnya disebabkan oleh gaya endogen
3) structural history      : sejarah pembentukkan struktur geologi
4) measurements         : pengukuran
5) planar structures      : struktur planar
6) bedding                    : susunan perlapisan pada batuan sedimen
7)foliation                     : suatu bentuk planar pada metemorf yang terbentuk oleh mineral sekunder
8) linear features         : roman perlapisan
9) cleavage                  : kemampuan batuan untuk membelah sepanjang bidang lemahnya.
10)minor folds              : lipatan batuan dalam ukuran kecil yang masih berhubungan dengan lipatan  major  
11) directions                : arah dari suatu kondisi batuan
12). Overturning           : penjungkiran atau pembalikkan batuan
13) geologists               : orang yang bekerja sebagai ahli geologi
14) specimens              : sampel pada batuan
15 soils                         : tanah hasil dari pelapukan batuan
16 mineral                    : komponen penyusun yang menyusun batuan
17) rocks                      : kumpulan atau asosiasi dari mineral-mineral
18)Strike                       : Arah jurus dari perlapisan batuan
19)Dip                           : arah kemiringan lapisan batuan
20)jointing                     : Retakan-retakan (kekar) yang terbentuk dari pengaruh gaya Endogen
21)geological map        : peta Geologi yang mencerminkan strukur batuan
22)average density       : rata-rata densitas batuan
23)map surface                        : permukaan atau sisi peta
24)scale of mapping     : ukuran pada peta yang mencerminkan jarak sebenarnya
25)exposures                : muncul di permukaan
26)Limestones              : Batuan Gamping
27)uneven                    : tidak rata atau kasar
28)Metamorphic rocks : batuan metamorfyang umumnya terbentuk adanya P&T tertentu
29)granite gneisses      : Batuan gneiss yang berkomposisi granitik
30)crop out                   : Tersingkap atau muncul di permukaan
31)compass                  : sebuah instrumen yang untuk mengukur jurus dan kemiringan Batuan.
32)camp                       : tempat yang menjadi base bagi ahli geologis
33)contact method       : Metode pengkuran untuk strike dan dip
34)map case                : tempat penyimpanan peta
35)rock surface                        : permukaan batuan
36)level bubble             : gelembung derajat pengukuran pada kompas
37)clinometers              : klinometer pada kompas geologi
39)hammer                   : Palu geologi
40)uneven planes         : bidang permukaan yang tidak begitu halus
41)stream                     : aliran air
42)lake shore                : garis tepi danau



DASAR-DASAR GEOLOGI

Geologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bumi. Bumi merupakan salah satu planet yang ada di sistem tatasurya kita. Bumi didiskripsikan berbentuk bulat pepat dan berputar pada poros pendeknya. Jari-jari bumi ± 6.370 km, yang terdiri dari benda padat (batuan), benda cair, dan gas (udara).

Secara umum interior bumi terdiri dari daratan (benua, pulau-pulau, lembah-lembah, dan pegunungan), serta lautan (lembah, palung, serta pegunungan bawah laut). Puncak gunung tertinggi > 8.000 m dpl (Pegunungan Himalaya), sedangkan palung yang terdalam mencapai kedalaman > 10.000 meter di bawah muka laut (Palung Philipina).

Informasi utama dari susunan dalam bumi diketahui berdasarkan informasi seismologi. Berdasarkan penyelidikan oleh H. Jeffreys dan K.E. Bullen (1932-1942) yang mengacu pada penyelidikan E. Wiechert (1890-an) dengan menggunakan cepat rambat gelombang P dan S, didefinisikan pembagian bentuk dalam (lapisan-lapisan) dari interior bumi, yaitu terdiri dari inti dalam, inti luar, mantel bawah, dan mantel atas, serta kerak bumi (Gambar 1 dan 2), dimana :
ñ Inti bumi (paling dalam), terdiri dari inti dalam (kedalaman 5.140-6.371 km, padat, berat, dan sangat panas), inti luar (kedalaman 2.883-5.140 km, cair atau lelehan lebih ringan, dan sangat panas).
ñ Mantel, terdiri dari mesosfer (kedalaman 350-2.883 km, padat, bertekanan tinggi, panas, dan keras), astenosfer (kedalaman 100-350 km, lemah, mudah terdeformasi oleh panas dan tekanan, serta plastis).
ñ Litosfer (kerak bumi), kedalaman 0-100 km, padat, dingin, kaku, rapuh, dan ringan, yang terdiri dari kerak benua (tebal), dan kerak samudera (tipis).



Kerak benua didominasi oleh batuan yang kaya Silikat, dekat permukaan kaya dengan alumunium (SiAl), dan pada kedalaman yang besar kaya akan magnesium (SiMa), lihat Gambar 2.

Pada batas bawah kerak bumi, terjadi penambahan cepat rambat gelombang dan disebut dengan bidang diskontinuitas Mohorivicic, dan ini juga berarti terjadinya perubahan komposisi mineral batuan (spesies mineral), yang diinterpretasikan sebagai perubahan komposisi dari gabbro menjadi suatu batuan ultrabasa (mineral dunit atau eklogit).

Kerak bumi yang merupakan bagian teratas dari interior bumi yang langsung kontak dengan oksigen dan merupakan tempat akumulasi mineral-mineral batuan merupakan sasaran utama dari ilmu genesa endapan bahan galian untuk dapat mengetahui sebaran mineral-mineral berharga. Keterdapatan mineral-mineral berharga tersebut sangat bergantung pada jumlah (konsentrasi) mineral-mineralnya, serta letak dan bentuk endapannya.