Senin, 04 April 2011

Oh.......PSIKOPAT


Psikopat adalah suatu gejala kelainan kepribadian yang sejak dulu dianggap berbahaya dan mengganggu masyarakat. Dr. Hervey Cleckley, psikiater yang dianggap salah satu peneliti perintis tentang Psikopat, menulis dalam bukunya “The Mask of Sanity” (1947, dalam Hare, 1993), menggambarkan Psikopat sebagai pribadi yang “likeable, charming, intelligent, alert, impressive, confidence-inspiring, an a great success with the ladies”, tetapi sekaligus juga “irresponsible, self destructive, and the like”. Demikian pula Dr. Robert Hare, dalam bukunya “Without Conscience: The disturbing world of the Psychopaths among us“ (1993) masih bergelut dengan isu yang sama, yaitu kepribadian psikopat yang nampaknya baik hati, tetapi sangat merugikan masyarakat. (3)
Namun perlu dicatat, bahwa istilah Psikopat, yang sejak 1952 diganti dengan Sosiopat dan dalam DSM II 1968 resmi dinamakan Sosiopat (Ramsland, tanpa tahun) itu, justru tidak bisa ditemukan dalam DSM IV. Yang ada dalam manual baku yang digunakan oleh para psikitaer di seluruh Amerika Serikat (dan diacu juga oleh para psikolog klinis dan psikiater dan psikolog di Indonesia) itu adalah 10 jenis Kelainan Kepribadian (Personality Disorders) (American Psychiatric Association, 1994: 629). (3)
  Seorang psikopat dapat melakukan apa saja yang diinginkan dan yakin bahwa yang dilakukannya itu benar. Sifatnya yang pembohong, manipulatif, tanpa rasa kasihan atau rasa bersalah setelah menyakiti orang lain, tanpa ekspresi, sulit berempati dengan orang lain dan mudah mengancam siapa saja, bahkan kadang-kadang ia dapat bertindak kejam tanpa pandang bulu. Pembicaraan mengenai dirinya sangat melambung tinggi dan melihat kelemahan dirinya ada pada orang lain dan tidak peduli terhadap siapapun. (2)
Di Amerika Serikat, Psikopat cukup banyak. Di Indonesia data pastinya memang belum ada. Dra. Tieneke Syaraswati, DNS, Ed, M.Fil, A.And dari FKUI mensinyalir jumlahnya pasti banyak. (4)
Apa penyebabnya (etiologi) ?
Sama seperti definisi dan ruang lingkup, tidak berbicara jelas tentang faktor-faktor penyebab kelainan kepribadian yang bernama psikopat ini. Sampai saat ini, banyak penelitian yang mendukung berbagai aspek penyebab kelainan ini antara lain (3) :
1. Kelainan di otak.
Hubungan antara gejala Psikopat dengan kelainan sistem serotonin, kelainan struktural (“…decreased prefrontal grey matter, decreased posterior hippocampal volume and increased callosal white matter) dan kelainan fungsional (… dysfunction of particular frontal and temporal lobe) otak. (Pridmore, Chambers & McArthur 2005).
2. Lingkungan.
Mereka yang berkepribadian psikopat memiliki latar belakang masa kecil yang tidak memberi peluang untuk perkembangan emosinya secara optimal. (Kirkman, 2002).
3. Kepribadian sendiri.
Adanya korelasi antara perilaku orang-orang dengan sindrom psikopat, dengan skor yang tinggi dalam tes kepribadian Revised NEO Personality Inventory (NEO-P-I-R,1992). (Miller & Lynam, 2003)
Selain beberapa penelitian diatas masih banyak lagi penelitian tentang etiologi psikopat. Sebagian besar psikolog dan psikiater masih berpegang pada faktor lingkungan dalam timbulnya kepribadian psikopat ini.
Bagaimana mendeteksinya ?
Kesulitan metodologis dalam penelitian tentang Psikopat, terutama datang dari terbatasnya kasus yang tersedia. Karena itu beberapa penelitian hanya didasarkan pada satu kasus saja (Hare, 1993; Litman, 2004; Bauchard, 2002). Beberapa penelitian lain terbatas pada sampel tertentu yang bias, seperti Narapidana, hanya bisa dilakukan terhadap topik-topik yang lebih umum dan bisa menggunakan responden umum seperti studi komparatif (N orang dengan indikasi Psikopat berdasarkan DSM IV = 89, N kontrol = 20) (Dolan & Fullam, 2004), atau studi simulasi (N mahasiswa S1 = 174) (Guy & Edens,2003).(3)
 Walaupun tidak dapat menentukan penyebabnya, saat ini terdapat alat yang baik untuk mendiferensiasi antara orang-orang dengan gejala psikopat dengan yang tidak, yaitu Psychopath Check List – Revised (PCL-R) yang dikembangkan oleh Prof.Robert Hare yang terdiri atas 20 kuesioner yang memiliki skor 0-2 di setiap pertanyaan. Sedikit kutipan dari 20 pertanyaan dalam PCL-R tentang ciri-ciri psikopat, sebagai berikut (5) :
  1. Persuasif dan memesona di permukaan.
  2. Menghargai diri yang berlebihan.
  3. Butuh stimulasi atau gampang bosan.
  4. Pembohong yang patologis.
  5. Menipu dan manipulatif.
  6. Kurang rasa bersalah dan berdosa.
  7. Emosi dangkal.
  8. Kasar dan kurang empati.
  9. Hidup seperti parasit.
  10. Buruknya pengendalian perilaku.
  11. Longgarnya perilaku seksual
  12. Masalah perilaku dini (sebelum usia 13 tahun).
  13. Tidak punya tujuan jangka panjang yang realistis.
  14. Impulsif.
  15. Tidak bertanggung jawab atas kewajiban.
  16. Tidak bertanggung jawab atas tindakan sendiri.
  17. Pernikahan jangka pendek yang berulang.
  18. Kenakalan remaja.
  19. Melanggar norma.
  20. Keragaman kriminal.
Indonesia saat ini menggunakan Tes Minessota Multiphasic Personality Inventory-2 (MMPI-2) untuk mendeteksi kepribadian psikopat ini yang didalamnya terdapat skala klinis, Skala isi, dan Skala penunjang. Pada awalnya tes MMPI-2 digunakan dalam pelayanan kesehatan jiwa, kemudian meluas ke kalangan militer dan pemerintahan sebagai bagian dari seleksi dan rekruitmen calon pegawai, pejabat (Legislatif & Eksekutif), termasuk calon presiden dan wakilnya. (6)
Alat ukur lain yang digunakan berdasarkan teori yang sudah eksis (metode deduksi) adalah Primitive Defense Guide (Helfgott, 2004), Rorschach (Cunliffe & Gacono, 2005), ToM (Theory of Mind) (Dolan & Fullam, 2004; Ritchell, et al. 2003), SCT (Sentence Completion Test) (Endres, 2004), dan NEO PIR (Miller & Lynam, 2003). (3)
Bisakah disembuhkan ?
Sebagai kelainan kepribadian yang belum bisa dipastikan penyebabnya, Psikopat belum bisa dipastikan bisa disembuhkan atau tidak. Perawatan terhadap penderita psikopat menurut pengamatan Hare, bukan saja tidak menyembuhkan, melainkan justru menambah parah gejalanya, karena psikopat yang bersangkutan bisa semakin canggih dalam memanipulasi perilakunya yang merugikan orang lain..Beberapa hal, kata Hare akan membaik sendiri dengan bertambahnya usia, misalnya energi yang tidak sebesar waktu muda.
Menurut Tieneke, perilaku psikopatik biasanya muncul dan berkembang pada masa dewasa, mencapai puncak di usia 40 tahun-an, mengalami fase plateau sekitar usia 50 tahun-an lantas perlahan memudar. “ Psikopat juga bisa disebabkan kesalahan pola asuh.” Tambahnya. Saran Tieneke, “Waspadai anak yang pemarah, suka berkelahi dan melawan, melanggar aturan merusak, dan bengis terhadap hewan serta anak yang lebih kecil”.
Di sisi lain, Kirkman (2002) yang percaya bahwa psikopat terbentuk karena salah asuh pada masa kecil, berpendapat bahwa Psikopat bisa dicegah sedini mungkin dengan memberikan asuhan yang tepat sehingga meminimalkan resiko individu kekurangan afeksi pada masa kecilnya.
Indikasi KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dapat disebabkan karena kepribadian Psikopat ternyata mungkin. Menurut Dr. Husein Anuz Sp.KJ, “Ayah yang Psikopat cenderung memberikan anak yang psikopat juga.”. Ini menunjukkan besarnya peran faktor lingkungan. Biasanya Anak akan meniru apa yang dilakukan Orang Tua nya, jadi tidak heran kasus KDRT rata-rata disebabkan karena apa yang mereka perbuat kepada keluarganya saat ini seperti apa yang orang tua mereka dulu perbuat terhadap keluarganya. (7)
Di beberapa negara timbul reaksi di masyarakat akibat ketidaktahuan tentang penyembuhan psikopat. Masyarakat mencoba melindungi diri melalui Undang-Undang. Di Belanda, UU Anti Psikopat diluncurkan dua kali (Abad XX dan di tahun 2002). Demikian pula di AS, hukum anti psikopat dimulai tahu 1930-an yang ditujukan pada Sex Offenders. (Granlund, 2005; Quinn, Forsyth & Mullen-Quinn, 2004).
Yang terpenting adalah penanganan korban psikopat. Penanganan korban psikopat seringkali harus mengalami proses penyembuhan yang panjang dan sulit. Umumnya mereka jatuh dalam trauma yang mendalam. Jadi, tak perlu membuang waktu untuk mengubah Psikopat.

Selasa, 04 Januari 2011

Beberapa kasus tumpahan minyak di Indonesia


Pencemaran lingkungan oleh tumpahan minyak kapal bukan hal baru di Indonesia. Sebelum MT Kharisma Selatan beberapa kasus tumpahan minyak juga telah terjadi. Setidaknya telah terjadi sembilan kali kasus tumpahan minyak di Indonesia sejak 1975. Tanker Showa Maru, karam di Selat Malaka tahun 1975, menumpahkan 1 juta ton minyak mentah; Choya Maru, karam di Bulebag, Bali (1975), menumpahkan 300 ton bensin; Golden Win, bocor di Lhokseumawe, NAD (1979), menumpahkan 1.500 kiloliter minyak tanah. Kemudian, Nagasaki Spirit, karam di Selat Malaka (1992), menumpahkan minyak mentah; Maersk Navigator, karam di Selat Malaka (1993), menumpahkan minyak mentah; Bandar Ayu, karam di Pelabuhan Cilacap (1994), menumpahkan minyak mentah; Mission Viking, karam di Selat Makassar (1997), menumpahkan minyak mentah; dan MT Natuna Sea, karam di Pulau Sambu (2000), menumpahkan 4.000 ton minyak mentah. (Kamaluddin, 2002).
Menurut Ingmanson dan Wallace (1985), sekitar 6 juta metrik ton minyak setiap tahun mencemari lautan. Penyebabnya secara umum adalah transportasi minyak, pengeboran minyak lepas pantai, pengilangan minyak dan pemakaian bahan bakar produk minyak bumi. Laut yang tercemar oleh tumpahan minyak akan membawa pengaruh megatif bagi berbagai organisme laut. Pencemaran air laut oleh minyak juga berdampak terhadap beberapa jenis burung. Air yang bercampur minyak itu juga akan mengganggu organisme aquatik pantai, seperti berbagai jenis ikan, terumbu karang, hutan mangrove dan rusaknya wisata pantai. Karamnya tanker Showa Maru telah menurunkan produksi tangkapan ikan di sekitar Selat Malaka dari 27,6 ton pada tahun 1974 menjadi 6,1 ton pada tahun 1975 (Bilal, 1990). Tumpahan minyak juga akan menghambat/mengurangi transmisi cahaya matahari ke dalam air laut karena diserap oleh minyak dan dipantulkan kembali ke udara.
Penanggulangan pencemaran laut di Indonesia
Dari segi prosedur baku yang berlaku, penanggulan tumpahan minyak dari bangkai MT Kharisma Selatan memang sudah cukup. Para petugas telah menggunakan pelampung untuk mencegah minyak tidak meluas yang dikombinasikan dengan penggunaan skimmer (pompa) untuk mengambil kembali minyak yang mengapung. Ini adalah prosedur standar dalam penanggulangan tumpahan minyak. Tapi, yang terlihat sibuk hanya segelintir pihak/instansi dan itupun terkesan sangat sektoral. Inilah potret penanggulangan pencemaran laut di Tanah Air. Padahal, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut keterlibatan antardepartemen terkait sangat diperlukan sehingga penanganan tumpahan minyak dapat berjalan integratif. Keterlibatan berbagai instansi pemerintah sangat diperlukan karena dampak tumpahan minyak sangatlah luas. Penanggulangan tumpahan minyak dapat dilakukan dengan membentuk semacam badan penyelenggara (executing agency) dari apa yang diistilahkan Badan Usaha Mandiri Penanggulan Tumpahan Minyak atau National Contency plan (NCP). Kita pernah mewacanakan ini tapi tidak ada kabar berita sampai sekarang apakah para pihak yang perhatian dengan masalah pencemaran laut oleh tumpahan minyak sudah membentuk wadah ini atau belum.
Kabar yang agak baik berasal dari Pertamina. BUMN ini telah memiliki 54 sistem Tanggap Darurat Penanggulangan Tumpahan Minyak Tier. Tapi pengelolaannya masih bersifat lokal dan pembentukannya baru berdasarkan kebutuhan teknis, belum melalui penilaian (assessment) yang medalam. Dampak dari kondisi yang ada itu tentulah akan terasa bilamana memasuki tahapan pasca lokalisasi tumpahan. Dalam tahap ini mulai dihitung kerugian yang diderita oleh semua pihak akibat pencemaran yang terjadi. Juga, akan dihitung berapa besar kerugian yang harus dibayar oleh pemilik kapal sesuai aturan internasional yang berlaku. Dari penanganan kasus tumpahan minyak MT Kharisma Selatan belum terlihat langkah-langkah yang telah dipersiapkan oleh para pihak untuk tahapan pasca lokalisasi tumpahan. Terutama, memperkirakan dampak kerusakan terhadap lingkungan dan kehidupan ekonomi masyarakat yang tergantung pada lautan di sekitar Pelabuhan Tanjung Emas. Padahal, semestinya semua langkah harus berjalan simultan.

FIELD MEASUREMENTS AND TECHNIQUES

One object of geological mapping1) is to elucidate the structure2) and structural history3) of the region studied. This can only be one if measurements4) are made of: the attitude of planar structures5) such as the bedding6) and foliation7) linear features8) including the intersection of bedding6) and cleavage9); the trends of minor folds10); and the directions11) of overturning12). It is assumed that the reader already knows what these structures2) are, although many budding geologists13) do not always know the best way of measuring them. Measurements4) once made must be plotted and recorded, and there are several ways of doing this too, some easier than others. Structures5) must also be investigated, specimens14) collected, photographs taken, and possibly even soils15) panned to determine heavy mineral16) suits where no rocks17) are exposed (see Section 4.5.3). These are all part of the technique of mapping1).

5.1 Measuring Strike18) and Dip19)
Measurements4) of strike18) and dip19) of bedding6), cleavage9), foliation7) and jointing20) are fundamental. Without them, a geological map21) means little. A useful rule of thumb is to take readings to give an average density22) of about one for every 5 cm2 or 1 inch2 of map surface23) regardless of the scale of mapping24). Naturally there will be greater concentrations of measurements4) where strikes18) vary and fewer where structure is more consistent or exposures25) poor. If there is a greater concentration, perhaps you need to map those areas at a larger scale. Strikes18) and dips19) can be measured in a number of different ways. Suit your method to the type of exposure. Limestones26), for instance, often have uneven27) bedding6) surfaces and a method which allows you to measure strike18) and dip19) over a wide area of surface will give more representative values than one where only a point on the surface is measured. Metamorphic rocks28) offer additional problems. Measurements4) of cleavage9) often have to be made on very small parts of a surface, sometimes even overhanging29) ones. There may even be more than one cleavage9) or foliation7) and at least one of them may be obscure and difficult to measure. You must use your ingenuity. Many granite gneisses29) crop out30) as pavements or turtle-backs where the trace of foliation is clear enough but the dip is difficult to see. Like limestone31) bedding planes32), joints20) tend to have uneven27) surfaces; take this into consideration when

69
measuring them. One point must be emphasised: you must plot measurements on to your map immediately after you have taken them, so that any mistakes made in reading your compass31), and they do happen, are obvious. Only in very bad weather is it permissible to log readings in your notebook and plot them back in camp32). Joints20) are an exception. They tend to clutter a map without adding to a direct understanding of the structure. Record joint directions in your notebook and plot them onto map overlays later, or treat them statistically. Another exception to the rule of the immediate plotting of structural measurements is where structures are locally complex: then you may have to draw an enlarged sketch in your notebook and plot the measurements4) on it. Several different methods of measuring strike18) and dip19) are described below; modify them as occasion demands.
5.1.1 Method 1
This, the contact method33), is commonest of all. Use it where the surface is smooth and even. If there are small irregularities, lay your map case34) on the rock surface35) and make your measurements4) on that, but sometimes such a small area of bedding6) or cleavage9) is exposed that direct contact is the only method that can be used. Place the edge of your compass31) on the surface, hold it horizontally, align it parallel to strike18) and read the bearing (Figure 5.1). Some compasses31) are provided with a level bubble36) so that there is no difficulty in establishing strike18). With others, you may first have to determine strike18) with your clinometer37), as follows: rotate the clinometer37) on the rock until it reads zero dip19) and, if necessary, scratch a line parallel to it with your hammer39) or lay your scale down beside it. With practice you can usually estimate strike19) with sufficient accuracy, but where surfaces are close to horizontal, strike may be more difficult to estimate. Then it may be easier to determine the direction of maximum dip19), or if you have water to spare, let a little run over the surface to determine the dip19) direction. Measure dip19) with your clinometers37) at right angles to the strike18) (Figure 5.2).
5.1.2 Method 2
On large uneven planes40) of relatively low dip19), estimate a strike18) line of a metre or more long (if necessary, mark it with a couple of pebbles), then stand over it with your compass31) opened out and held parallel with it at waist height (Figure 5.3). In a stream41) or on a lake shore42) nature may help, for the water line makes an excellent strike18) line to measure. The same method can be used to measure the strike18) of foliation7) on turtlebacks, or of veinlets on flat surfaces. Because you measure a greater strike length with this method, it gives more accurate readings than the contact method, and it is particularly useful where foliation7) is indistinct and seen better in the rock17) as a whole. Dip19) is often difficult to measure in some pavement exposures, because there (to be continued)

70

Glossary:
1) mapping                   : proses pembuatan peta sebuah daerah
2)structure                    : adanya dislokasi pada batuan yang umumnya disebabkan oleh gaya endogen
3) structural history      : sejarah pembentukkan struktur geologi
4) measurements         : pengukuran
5) planar structures      : struktur planar
6) bedding                    : susunan perlapisan pada batuan sedimen
7)foliation                     : suatu bentuk planar pada metemorf yang terbentuk oleh mineral sekunder
8) linear features         : roman perlapisan
9) cleavage                  : kemampuan batuan untuk membelah sepanjang bidang lemahnya.
10)minor folds              : lipatan batuan dalam ukuran kecil yang masih berhubungan dengan lipatan  major  
11) directions                : arah dari suatu kondisi batuan
12). Overturning           : penjungkiran atau pembalikkan batuan
13) geologists               : orang yang bekerja sebagai ahli geologi
14) specimens              : sampel pada batuan
15 soils                         : tanah hasil dari pelapukan batuan
16 mineral                    : komponen penyusun yang menyusun batuan
17) rocks                      : kumpulan atau asosiasi dari mineral-mineral
18)Strike                       : Arah jurus dari perlapisan batuan
19)Dip                           : arah kemiringan lapisan batuan
20)jointing                     : Retakan-retakan (kekar) yang terbentuk dari pengaruh gaya Endogen
21)geological map        : peta Geologi yang mencerminkan strukur batuan
22)average density       : rata-rata densitas batuan
23)map surface                        : permukaan atau sisi peta
24)scale of mapping     : ukuran pada peta yang mencerminkan jarak sebenarnya
25)exposures                : muncul di permukaan
26)Limestones              : Batuan Gamping
27)uneven                    : tidak rata atau kasar
28)Metamorphic rocks : batuan metamorfyang umumnya terbentuk adanya P&T tertentu
29)granite gneisses      : Batuan gneiss yang berkomposisi granitik
30)crop out                   : Tersingkap atau muncul di permukaan
31)compass                  : sebuah instrumen yang untuk mengukur jurus dan kemiringan Batuan.
32)camp                       : tempat yang menjadi base bagi ahli geologis
33)contact method       : Metode pengkuran untuk strike dan dip
34)map case                : tempat penyimpanan peta
35)rock surface                        : permukaan batuan
36)level bubble             : gelembung derajat pengukuran pada kompas
37)clinometers              : klinometer pada kompas geologi
39)hammer                   : Palu geologi
40)uneven planes         : bidang permukaan yang tidak begitu halus
41)stream                     : aliran air
42)lake shore                : garis tepi danau



DASAR-DASAR GEOLOGI

Geologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bumi. Bumi merupakan salah satu planet yang ada di sistem tatasurya kita. Bumi didiskripsikan berbentuk bulat pepat dan berputar pada poros pendeknya. Jari-jari bumi ± 6.370 km, yang terdiri dari benda padat (batuan), benda cair, dan gas (udara).

Secara umum interior bumi terdiri dari daratan (benua, pulau-pulau, lembah-lembah, dan pegunungan), serta lautan (lembah, palung, serta pegunungan bawah laut). Puncak gunung tertinggi > 8.000 m dpl (Pegunungan Himalaya), sedangkan palung yang terdalam mencapai kedalaman > 10.000 meter di bawah muka laut (Palung Philipina).

Informasi utama dari susunan dalam bumi diketahui berdasarkan informasi seismologi. Berdasarkan penyelidikan oleh H. Jeffreys dan K.E. Bullen (1932-1942) yang mengacu pada penyelidikan E. Wiechert (1890-an) dengan menggunakan cepat rambat gelombang P dan S, didefinisikan pembagian bentuk dalam (lapisan-lapisan) dari interior bumi, yaitu terdiri dari inti dalam, inti luar, mantel bawah, dan mantel atas, serta kerak bumi (Gambar 1 dan 2), dimana :
ñ Inti bumi (paling dalam), terdiri dari inti dalam (kedalaman 5.140-6.371 km, padat, berat, dan sangat panas), inti luar (kedalaman 2.883-5.140 km, cair atau lelehan lebih ringan, dan sangat panas).
ñ Mantel, terdiri dari mesosfer (kedalaman 350-2.883 km, padat, bertekanan tinggi, panas, dan keras), astenosfer (kedalaman 100-350 km, lemah, mudah terdeformasi oleh panas dan tekanan, serta plastis).
ñ Litosfer (kerak bumi), kedalaman 0-100 km, padat, dingin, kaku, rapuh, dan ringan, yang terdiri dari kerak benua (tebal), dan kerak samudera (tipis).



Kerak benua didominasi oleh batuan yang kaya Silikat, dekat permukaan kaya dengan alumunium (SiAl), dan pada kedalaman yang besar kaya akan magnesium (SiMa), lihat Gambar 2.

Pada batas bawah kerak bumi, terjadi penambahan cepat rambat gelombang dan disebut dengan bidang diskontinuitas Mohorivicic, dan ini juga berarti terjadinya perubahan komposisi mineral batuan (spesies mineral), yang diinterpretasikan sebagai perubahan komposisi dari gabbro menjadi suatu batuan ultrabasa (mineral dunit atau eklogit).

Kerak bumi yang merupakan bagian teratas dari interior bumi yang langsung kontak dengan oksigen dan merupakan tempat akumulasi mineral-mineral batuan merupakan sasaran utama dari ilmu genesa endapan bahan galian untuk dapat mengetahui sebaran mineral-mineral berharga. Keterdapatan mineral-mineral berharga tersebut sangat bergantung pada jumlah (konsentrasi) mineral-mineralnya, serta letak dan bentuk endapannya.